Mei 2007
Bahwa dalam keadaan tidur dan mata terpejam kita masih bisa mengindera perubahan cahaya di sekitar kita, mungkin satu hal yang sering luput dari perhatian kita. Sensitifitas mata kita yang kemudian tersambung ke sistem syaraf yang rumit dalam tubuh kita memang luar biasa.
Waktu itu saya sedang terlelap tidur. Lampu di kamar memang tidak dimatikan waktu itu. Mungkin ini harus disyukuri karena ada sebagian orang tidak bisa tidur kecuali kalau lampunya dimatikan, sementara sebagian lain justru harus tidur dengan diterangi cahaya lampu. Buat saya hal itu tidak masalah.
Kemudian tiba-tiba saya terbangun. Penyebabnya? Ternyata kamar menjadi gelap gulita, listrik mati. Saat itulah saya berpikir seperti tadi. Sungguh hebat mata kita. Dalam keadaan tidur dan terpejam pun, masih bisa meng-sensor (bukan sensor film maksudnya) perubahan cahaya yang terjadi. Sampai membuat saya terbangun.
Tapi saya tidak akan cerita tentang hebatnya mata kita itu. Kejadian itu justru mengilhami saya untuk menulis satu pernik yang sering ditemui di negeri tercinta: mati lampu.
Kebetulan saya tinggal di Bogor. Well, nggak kebetulan sih. Memang direncanakan untuk tinggal di Bogor, kok. Yang jelas, dengan julukannya sebagai Kota Hujan, Bogor termasuk daerah dengan curah hujan tinggi. Hujan tentunya biasa disertai dengan kilat dan guntur. Saya pernah dengar misalnya bahwa Cibinong adalah daerah dengan frekuensi kilat no.3 di dunia. Prestasi yang hebat toh?
Saya tidak terlalu ngerti kaitannya secara teknis apakah kalau hujan besar diiringi kilat dengan frekuensi (keseringan) yang tinggi itu membahayakan, sedemikian sehingga aliran listrik harus dimatikan. Faktanya memang kalau hujan besar, banyak kilat, ya siap-siap saja listrik mati.
Yang jelas juga, modem internal di komputer saya pernah jebol karena kilat. Saya memang mendapat nasihat bahwa kalau hujan besar sebaiknya cabut saja kabel power komputer, TV atau alat-alat elektronik lainnya. Waktu itu, kabel powernya memang saya cabut, tapi kabel telepon yang nyambung ke modem terlupakan sehingga tetap terpasang. Walhasil, gugurlah modem saya itu. By the way, itu modem masih yang saya beli di US sana, jadi memang tidak didesain anti kilat. Sekarang sudah saya ganti, ternyata di Indonesia sini banyak tersedia modem yang katanya didesain anti kilat. Saya sendiri belum pernah membuktikannya. Setiap hujan besar, langsung saya cabut kabelnya. Lha, daripada resiko terkena kilat lagi.
Cuaca mungkin memang salah satu penyebab seringnya (relatif) listrik mati di negeri ini. Tetapi ada hal lain.
Bulan Desember yang lalu, saya pergi ke Medan karena ada pekerjaan kantor. Walah, waktu saya di sana ternyata listrik sering sekali mati. Bisa empat kali sehari! Dan kata orang Medan sana, hal itu sudah berlangsung selama beberapa minggu. Kemudian saya dengar hal serupa terjadi di beberapa kota lain di Sumatera. Mengapa? Yang jelas bukan karena hujan atau karena fenomena alam.
Belakangan muncul informasi bahwa ketersediaan listrik di daerah Sumatera waktu itu memang terbatas, sehingga “jam nyala” terpaksa harus digilir. Konon katanya, PLN di daerah sana itu proyek pengadaan listriknya terbengkalai karena tidak ada orang yang jadi mau pimpro alias penanggungjawab kegiatan. Alasan mereka, pada takut sama KPK. Dalam sistem birokrasi sekarang, memang hampir tidak mungkin untuk menjalankan satu kegiatan tanpa ada pelanggaran administrasi sama sekali. Dan kalau sudah jadi temuan, ya para pimpro itulah yang pertama dikorbankan sebelum para pejabatnya tersentuh. Nah, daripada nantinya jadi tumbal, ya mendingan menolak tugas saja di awal. Akibatnya ya itu tadi. Beberapa proyek atau kegiatan terbengkalai tidak ada yang menangani, dan kalau itu sudah menyangkut hajat hidup orang banyak maka masyarakat juga yang jadi korban.
Mungkin ada juga penyebab lain. Yang jelas, kata teman saya yang ngerti tentang pasokan energi nasional, kondisi cadangan energi kita memang makin menipis. Pemerintah mulai menggembar-gemborkan program penghematan, termasuk listrik. Tetapi teman tadi juga mengkritiknya. Dia berdalih bahwa definisi penghematan adalah pengurangan penggunaan energi (dalam hal ini listrik) tanpa menurunkan tingkat produktivitas. Kalau langkah penghematan adalah mematikan listrik dari jam sekian sampai jam sekian yang akibatnya adalah terhentinya kegiatan produksi, ya itu bukan penghematan meskipun penggunaan energi listrik memang berkurang. Tak tahulah ...
Yang jelas, mati listrik menjadi senjata ampuh istri saya untuk menyuruh anak-anak mandi. Rumah saya memang tidak menggunakan air dari PDAM, tetapi dari air tanah yang dipompa menggunakan pompa listrik atau sanyo kata orang sini. Jadi kalau listrik mati, air tidak bisa dipompa dan kami hanya bisa mengandalkan air di tank penampungan yang ada. Karena tidak tahu listriknya mati sampai kapan, tentu penggunaan air dari tank penampungan itu harus dihemat. Lha kalau listrik mati terus sampai besok pagi, bisa cilaka.
Karena itu kalau anak-anak agak malas mandi sore, istri saya bilang: “Cepat mandi, ini sudah mau hujan. Nanti listrik mati kalian nggak bisa mandi!” Ternyata itu cukup ampuh, anak-anak pun biasanya segera berebutan masuk ke kamar mandi.
Juga karena matinya listrik itu tidak diumumkan sebelumnya, kita harus selalu siap dengan lilin yang ditempatkan di lokasi yang pasti dan tidak dipindah-pindah. Maksudnya, ketika pas listrik mati, mudah untuk mencari lilin-lilin itu di tengah kegelapan.
Jadi mungkin bisnis lilin termasuk yang cukup prospektif di Indonesia. Karena itu sekarang orang berseloroh bahwa PLN akan berganti nama menjadi Perusahaan Lilin Negara !!!