Beranda | Profil | Profesi | Pernik

Monday, September 22, 2008

SARUNG DAN KAMBING

(sebuah catatan sekitar 2 tahun yang lalu)

Ada perasaan bahagia yang tak bisa terlukiskan ketika anak saya meminta dibekali sarung pada hari ke-2 mereka bersekolah di Indonesia . “So that I can pray together with my friends, Bu!”, katanya. "That's it. This is why we went back to Indonesia!", bisik saya dalam hati. Anak-anak saya memang masuk sekolah siang. Jam 11 mereka sudah harus siap menunggu jemputan. Jadi, mereka harus sholat 2 kali di sekolah: Dzhuhur dan ‘Ashr. Dzhuhur sebelum bel sekolah tanda masuk berbunyi, dan ‘Ashr ketika mereka beristirahat. Di masjid dekat sekolahan dan di musholla sekolah memang biasanya disediakan sarung, tapi mereka tidak mau menunggu giliran dan rebutan pakai sarung inventaris macam itu.

Teringat pula celotehan seorang ibu yang juga bernasib serupa, kembali ke tanah air setelah sekian lama hidup di negeri impian Amerika. Dia bercerita setelah sekian bulan di Indonesia , anak gadisnya yang duduk di SMA kelas 1 waktu itu dikunjungi teman-teman di rumahnya. Ternyata pertanyaan pertama yang dilontarkan si anak gadis kepada teman-temannya adalah, “Hei, kalian sudah sholat belum, mau sholat di sini (rumah) saja?”
“Wah!”, kata sang ibu, “Hal yang mungkin tidak akan terjadi kalau kita menetap di Amerika.”

Pulang atau tidak pulang? Hal ini yang memang selalu memenuhi benak kita ketika berada di luar negeri. Kekhawatiran yang menggunung tentang ketidakpastian kondisi ekonomi (apalagi kalau bukan hal ini?), kesemrawutan negeri tercinta, ketidaknyamanan hidup dengan udara pengap dan kotor. Semua nampaknya semakin menggiring kita kepada keputusan yang mudah: tetap saja lah di luar negeri.

Hal lain adalah saat kita melihat anak-anak kita. Fasilitas yang nyaman dan wah yang diterima ketika mereka bersekolah di luar negeri. Ditambah kualitas guru yang well qualified, bahkan di public school sekalipun. Jangan tanya masalah kejelasan kurikulum dan program yang dirancang sedemikian rupa sehingga anak-anak merasa betah di sekolah. Itu semua nampaknya semakin memantapkan kita untuk terus menetap di luar negeri.

Makanya tidak bisa dibohongi, ada perasaan berat ketika tahun lalu saya memutuskan untuk mudik pulang kampung ke tanah air. Berat meninggalkan semua “kenikmatan” di atas, dan terbayang semua ketidakpastian dan beratnya hidup di tanah air, bahkan untuk seorang yang bergelar seorang doktor sekalipun. Apalagi melihat anak-anak, yang sudah tumbuh besar layaknya seorang real American. Lidahnya saja sudah kelu untuk berkata-kata dengan bahasa Indonesia . Anak ke-2 saya bahkan hanya bisa berhitung sampai 5 dalam bahasa Indonesia , saat itu.

Meskipun merasa sudah cukup mengkondisikan anak-anak untuk menghadapi suasana Indonesia , kekhawatiran yang besar tetap membayangi perasaan ketika melepas mereka sekolah di sini. “Prepare for the worst, face everything with a smile!”, begitu selalu saya katakan kepada mereka. Apalagi karena waktu kedatangan yang tidak pas, sekolah-sekolah swasta yang dianggap bermutu baik, tidak bisa menerima mereka karena kelas-kelas sudah penuh dan semester sudah berjalan. Masih beruntung, sebuah SD negeri unggulan ternyata bersedia menerima. Lumayanlah, meskipun negeri tetapi karena merupakan sekolah unggulan dan percontohan, mungkin kualitas (guru dan programnya) tidak jelek-jelek amat.

Semua kekhawatiran tentang anak-anak ternyata tidak terjadi. Anak-anak dengan cepat menyesuaikan diri dan merasa enjoy hidup di Indonesia . Sekarang kalau ditanya, pasti mereka menjawab lebih suka tinggal di Indonesia daripada di Amerika. Ternyata, hampir semua ex-luarnegeri-er kalau ditanya tentang anak-anaknya menjawab sama: anak-anak ternyata lebih menikmati sekolah di Indonesia .

Apalagi kemudian masuk bulan Ramadhan. Terlihat mereka enjoy sekali. “Ayah, Ramadhan di sini mah enak”, kata anak ke-2 saya, sekarang sudah dalam bahasa Indonesia dibubuhi aksen Sunda sedikit. Ya memang terbayang kondisi Ramadhan di Amerika sana. Meskipun pihak sekolah waktu itu sangat pengertian dan memberikan kesempatan anak-anak muslim untuk observe fasting, saya tetap membayangkan beratnya perang batin yang mungkin terjadi dalam diri anak-anak. Ketika anak-anak lain pergi ke kantin untuk makan siang, anak-anak muslim pergi ke Principal’s office menunggu waktu lunch selesai. Ketika ada pesta-pesta makan di kelas, mereka terpaksa harus mengatakan, ”Sorry, I am fasting”. Terbayang pula wajah guru mereka yang sama-sama merasa tidak enak dengan kondisi seperti ini. Apalagi di kelas anak tertua saya, hanya dia sendiri yang muslim, sedangan anak ke-2 saya masih mending ada teman muslminya dari Pakistan.

Saya baru merasakan, mungkin tahun inilah pertama kalinya anak-anak saya mengerti dan menghayati (dalam konteks anak-anak, tentunya) kehidupan Ramadhan. Tarawih jelas, mereka menikmatinya sambil ngobrol dan juga mungkin saling dorong. Mereka mengeluh kalau ceramahnya kepanjangan. Ya, khas dunia anak-anak. Yang jelas, ceria. Tanpa diminta juga, ketika tahu ada kegiatan i’tikaf di masjid di kompleks rumah, anak-anak saya langsung minta ijin untuk diperbolehkan ikut menginap di masjid. Buka sama-sama dan sahur sama-sama, juga dengan anak-anak lainnya.

Hal serupa terjadi menjelang Idul Adha kemarin. Untuk pertama kalinya saya berkurban dengan langsung melihat bahkan menyembelih kambing kurban saya sendiri. Bukannya dalam bentuk uang yang dikirim ke tanah air.
Anak-anak pun tampak menikmati momen kurban ini. Mereka nampak ingin berlama-lama menjaga kambing yang akan dikurbankan dan hanya pulang ke rumah karena waktu memang sudah malam. Besoknya, mereka pun cepat bangun untuk melihat lagi kambing tersebut. Aktifitas penyembelihan, pengulitan, pencacahan sampai pembagian daging kurban langsung ke mustahiqnya, diikuti pula oleh mereka dengan penuh perhatian. Yang membuat mereka senang juga adalah karena ada anak-anak lain yang juga seperti mereka. Bergurau, bermain dan sama-sama beribadah. Mereka tidak seperti anak-anak di tengah dunia asing, tetapi anak-anak muslim Indonesia di dunia anak-anak muslim Indonesia.

Lepas dan bebasnya kondisi hati. Mungkin itu jawabannya. Kita dan mungkin khususnya anak-anak merasa bebas dan terlepas dari keharusan menjadi seseorang yang bukan dirinya sendiri. Di Indonesia, mereka bisa merasakan kebebasan menjadi seorang Indonesia, seorang muslim yang hidup di dunia mereka sendiri. Ambiguity dalam personal mereka menjadi hilang.

Saya tidak menyatakan bahwa Islam tidak kompatibel dengan dunia Barat (Amerika khususnya). That’s not the question. Tetapi selama sistim masyarakatnya belum mendukung, kita tidak bisa merasakan dengan sempurna keindahan Islam itu sendiri.

Bagi anda yang berniat tinggal di Amerika untuk terus berdakwah menegakkan Islam di belahan bumi sana, silakan teruskan perjuangan anda. Saya juga berdo’a semoga Allah SWT memberikan kekuatan kepada anda dan keluarga anda.
Tetapi ketika anda memutuskan pulang ke tanah air, surga yang lain menanti anda di sini.

No comments: